Ucapan

SELAMAT DATANG DI BLOG SUARA ENGGANG POST!

Senin, 29 April 2013

Demi Uang, Para Pelajar Pilih Difoto Bugil Ketimbang Sekolah


Demi Uang, Para Pelajar Pilih Difoto Bugil Ketimbang SekolahST
ILUSTRASI

Kaki jenjang perempuan berambut panjang warna cokelat itu begitu luwes mengambil posisi di atas ranjang. Sesekali dia mengibaskan rambutnya sambil menatap tajam ke arah lensa kamera beberapa fotografer pria di depannya.
Diiringi dentuman house music dari handphone, perempuan yang masih duduk di bangku SMA di Banjarbaru itu tidak risih berganti-ganti gaya nan seksi. Dari berpakaian lengkap hingga menyisakan salah satu pakaian dalam.
Seakan belum cukup di kamar salah satu hotel itu, sesi pemotretan berpindah ke kamar mandi. Di sini, di bawah guyuran air, model perempuan tersebut tanpa malu memperlihatkan seluruh auratnya.
Perempuan muda itu bernama Anggrek (bukan nama sebenarnya). Dia mengaku sudah biasa menjadi model bagi para fotografer. Setiap minggu dia sedikitnya mendapat tiga kali order pemotretan, dari penampilan sopan hingga seronok.
Kompensasinya, uang. Tak heran di usianya yang baru belasan tahun, dia sudah bisa meraup jutaan rupiah tiap bulan. Bahkan terkadang sampai belasan juta rupiah.
“Awalnya canggung sih, sekarang sudah tidak lagi. Sudah biasa dipotret semi nude (telanjang) atau nude. Risikonya sekolah saya lumayan camuh (kacau) karena sering ditinggal. Saya memilih difoto. Juga mumpung belum ada laki-laki (pacar maksudnya). Nanti kalau sudah punya kan dilarang,” ujar Anggrek kepada Banjarmasin Post (Tribunnews.com Network), kemarin.
Bila mendapat order, Anggrek biasa melakukannya pada sore atau saat libur. Sepulang sekolah, dia langsung ke rumah untuk berganti pakaian lalu pergi lagi menuju ke tempat pemotretan, biasanya hotel. Tak hanya di Banjarbaru, dia juga pernah di-booking di kota lain.
“Pernah diberi Rp 2 juta tetapi juga ada yang mengasih ratusan ribu rupiah. Uangnya habis buat biaya cari hiburan. Malam tulak (pergi ke tempat hiburan malam), Minggu bajajalanan (berwisata). Ya senang saja difoto. Ada kepuasaan,” katanya.
Bagi sebagian fotografer amatir di Banua, memotret model perempuan berpose seksi, seronok bahkan vulgar, bukanlah hal baru. Mereka menyebutnya selingan yang indah. Ada yang melakukan sendirian, bersama sejumlah fotografer lain bahkan terkadang dilakukan beramai-ramai dengan teman satu kelompok fotografi. Hasil pemotretan itu biasanya untuk ‘dokumen pribadi’. “Bahkan kalau sudah kenal atau cocok tarifnya, bisa ‘lanjut’ (melakukan hubungan seks). Tapi memang tidak semua model bisa,” kata seorang fotografer, sebut saja Kumbang.
Dia mengaku, momotret model berpose seksi adalah tantangan yang bisa memunculkan kepuasan tersendiri. “Saya dan teman-teman melakukan sesi pemotretan itu secara spontan saja. Hasilnya ya untuk koleksi pribadi. Soal seni itu relatif, bahkan banyak yang menjadikannya sebagai alasan padahal sebenarnya mencari kepuasan,” ucap Kumbang.
Modelnya bisa profesional atau amatiran. Problemnya, model profesional mematok tarif tinggi. Kondisi itulah yang membuat model amatiran mendapat bagian rezeki. Makin cantik, seksi apalagi ‘berani’, seorang model kian sering mendapat order. Tragisnya, ada di antara mereka yang masih berstatus siswi dan mahasiswi.
Selain Anggrek di Banjarbaru, ada Mawar (nama samaran) di Banjarmasin. Mawar adalah mahasiswi salah satu perguruan tinggi swasta (PTS). “Foto ND (nude)? Oke saja. Asal cocok biaya dan tempatnya,” ucapnya.
Tarif memotret Mawar adalah Rp 500 ribu per sesi yang biasanya selama 2-3 jam. “Awalnya ikut-ikutan, di tempat terbuka. Akhirnya terbujuk sesi di ruang tertutup. Apalagi honornya lumayan. Awalnya sih buka-bukaan sedikit, terus ND. Kata mereka (fotografer), ND itu seni,” ujarnya sembari tertawa.
Benarkah itu seni? Ketua South Borneo Photography Community (SBFC) H Nelwan mengatakan sangat tipis perbedaan antara seni dan pornografi. “Itu kembali kepada fotografer dan modelnya. Seharusnya, seorang model berani menegur jika fotografer sudah melenceng dari konsep pemotretan yang sudah disepakati. Meski dibayar, seharusnya model tidak asal mengikuti keinginan fotografer,” kata dia.
Nelwan mengakui kerap dilakukannya sesi pemotretan model telanjang. Namun, aktivitas itu bisa dikatakan underground atau untuk kalangan terbatas. Beda dengan hunting foto yang biasa digelar kelompok fotografi-kelompok fotografi.
“Foto nude yang art jangan disalahartikan menjadi asal telanjang, harus ada etikanya. Harus ditempatkan dalam konteks profesional. Tidak bisa sembarangan,” ucapnya.
Pendapat serupa diucapkan fotografer asal Banjarbaru, Misba kobin. “Kini memotret nude itu rata-rata cuma karena mengumbar hawa nafsu dan mencari kepuasaan. Sementara keindahan seni dan angle-nya hilang,” katanya.
Misba mengaku pernah melakukan pemotretan perempuan bugil di Surabaya, Jatim, tiga tahun lalu. “Kacau, tidak karuan, campuraduk, hasilnya nggak jelas. Dari pengamatanku, saat ini banyak yang menjadikan profesi model sebagai ‘baju’ saja,” ucap pria yang kini lebih memilih menekuni seni foto makro.