NET
Peta Indonesia
Wacana
memindahkan ibu kota negara dari Jakarta ke provinsi lain kembali
mencuat, menyusul banjir yang merendam dan melumpuhkan Jakarta empat
hari terakhir. Alasannya, Jakarta dinilai tak mampu lagi menanggung
beban sebagai ibukota pemerintahan, politik, bisnis dan pariwisata
sekaligus.
Bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) secara terbuka dan bersedia berdiskusi atas wacana perpindahan Ibu Kota negara.
Menurut
Presiden, seperti disampaikan staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan
Daerah dan Otonomi Daerah, Velix Wanggai, Jakarta tidak bisa lagi
menampung interaksi manusia dan lingkungannya.
Karena itu,
Presiden SBY mengajukan tiga skenario yang perlu didiskusikan oleh
publik. Skenario pertama adalah mempertahankan Jakarta sebagai ibu kota,
pusat pemerintahan, sekaligus kota ekonomi dan perdagangan. Kedua,
membangun ibu kota yang benar-benar baru.
Ketiga, ibu kota tetap di Jakarta, namun memindahkan pusat pemerintahan ke lokasi lain.
Bisa
jadi pemindahan ibu kota negara atau hanya memindahkan pusat
pemerintahan adalah bagian dari solusi, namun membicarakannya untuk saat
ini tidak tepat.
Sebab, yang terpenting saat ini adalah semua
pihak, baik pemerintah daerah dan pusat bersama masyarakat bahu-membahu
mengatasi bencana banjir dan membantu para korban yang saat ini masih
berada di tempat-tempat pengungsian.
Meski demikian, ke depan
tidak ada salahnya tiga opsi yang ditawarkan Presiden SBY didiskusikan
bersama. Tentu perlu sebuah diskusi yang panjang melibatkan seluruh
elemen bangsa ini.
Dari ketiga opsi tersebut, tampaknya ide
memindahkan pusat pemerintahan yang paling memungkinkan. Jakarta bisa
dijadikan sebagai kota pusat bisnis, sementara kota lain menjadi pusat
pemerintahan.
Sebenarnya, ibu kota negara dipindah itu sudah
dilakukan sejumlah negara di dunia ini. Bahkan Australia, Amerika
Serikat, Jerman, Jepang, Malaysia pun pernah melakukannya. Malaysia
memindahkan pusat pemerintahan dari Kuala Lumpur ke Kota Putrajaya.
Australia
memindahkan dari Sidney ke Canbera, Amerika Serikat memindahkan dari
New York ke Washington DC, Jepang dari Kyoto ke Tokyo, Jerman yang
sebelumnya di Kota Bonn ke Berlin.
Putrajaya, kota seluas 46
kilometer persegi yang berjarak sekitar 25 kilometer dari Kuala Lumpur
awalnya adalah areal perkebunan sawit disulap menjadi pusat pemerintahan
Malaysia menggantikan Kuala Lumpur sebagai ibukota pemerintahan
Malaysia, setelah kota yang disebut terakhir ini tidak mampu lagi
menanggung beban sebagai ibukota yang ideal.
Dibangun sejak 1994
dan menghabiskan biaya sekitar Rp85 triliun, Putrajaya resmi dijadikan
sebagai pusat pemerintahan Malaysia pada 1999. Semua aktivitas kantor
pemerintahan, termasuk Kantor Perdana Menteri, kini telah dipindahkan ke
kota tersebut.
Nama Putrajaya layak dimunculkan sebagai contoh
sukses pemindahan pusat pemerintahan, setelah opsi lain yaitu pemindahan
ibukota Jakarta ke tempat lain dianggap lebih berisiko dan mahal secara
ekonomi. Ide pemindahan pusat pemerintahan, tanpa memindahkan Jakarta
sebagai ibukota, dianggap sebagai salah-satu jalan yang paling realistis
dan murah.
Berkaca dari Malaysia, wacana memindahkan pusat
pemerintahan yang tidak jauh dari Jakarta, merupakan yang paling
rasional. Dengan alasan pertimbangan kesiapan infrastruktur serta
kemampuan daerah itu menjadi kota mandiri, kawasan di sekitar Depok,
Tangerang, Bekasi, dan Karawaci, dan Jonggol di Kabupaten Bogor bisa
sebagai alternatif.
Tentu saja ada syarat-syarat yang harus
dipenuhi untuk membangun kota baru sebagai pusat pemerintahan. Selain
kesiapan infrastruktur, masalah sosial yang mengiringi perpindahan para
pegawai negeri ke pusat pemerintahan yang baru, harus pula disiapkan
sarana dan prasarananya.
Mulai dari apartemen hingga perumahan perlu dibangun di lokasi baru untuk menampung para pegawai negeri.
Pertanyaannya,
mampukah Indonesia membangun pusat pemerintahan yang baru, sebagai
pengganti Jakarta, setidaknya seperti yang sudah dipraktekkan di
Malaysia? Realitasnya selama ini Indonesia tampaknya baru sampai pada
tahap menimbang-nimbang saja: pindah atau tidak, dan itu hanya ramai
takkala Jakarta dihantam banjir dahsyat seperti terjadi sekarang. (*)