Pontianak
– Kabupaten Garut, Jawa Barat mendadak terkenal atas ulah bupatinya
yang suka kawin. Nikah kilat Bupati Garut Aceng HM Fikri dengan Fani
Oktora, gadis berusia 18 tahun asal Limbangan, Kabupaten Garut menuai
banyak kritikan.
Apalagi pernikahan secara sembunyi itu hanya bertahan selama empat
hari, setelah itu Aceng menceraikan Fani Oktora. Sebagai kepala daerah,
Aceng mengajarkan kepada rakyatnya untuk melakukan perbuatan yang tidak
baik.
“Bupati Garut sebagai aparat pemerintah jelas melanggar hukum. Selain
itu, dirinya telah melanggar etika dan kepatutan sebagai seorang kepala
daerah,” kata Fitri Kusumayanti MSi, Ketua Pusat Studi Wanita (PSW)
STAIN Pontianak, kemarin.
“Karena telah menikahi siri perempuan berumur 18 tahun. Lebih gile
lagi hanya empat hari kemudian diceraikan melalui Short Message Service
(SMS). Itu kan sangat meremehkan kaum perempuan,” lanjut Fitri.
Semestinya sebagai pejabat terhormat di mata masyarakat, kepala
daerah harus menjadi contoh teladan. “Dalam perspektif perempuan, jelas
hal ini terasa sangat melecehkan. Mungkin kasus nikah siri adalah hal
yang biasa dilakukan jika menimpa masyarakat biasa. Namun akan lain
apabila dilakukan oleh pemimpin,” ujarnya.
Sebagai kepala pemerintahan, perkawinan yang dilakukan Aceng bisa
jadi melanggar peraturan UU yang telah ditetapkan sejalan dengan HAM.
Apalagi sangat mendiskriminasikan perempuan.
“Kalau menurut saya, pernikahan siri bagi perempuan sangat lemah
posisinya secara hukum. Hingga akhirnya perempuan yang disirikan tidak
bisa mendapatkan haknya. Untuk itu perlunya keseriusan pemerintah dalam
membahas RUU keadilan dan kesetaraan gender,” harap Fitri yang juga
dosen Jurusan Dakwah STAIN Pontianak ini.
Dampak nikah siri yang pastinya akan merugikan pihak perempuan.
Karena nikah siri tidak bisa menuntut hak sebagai perempuan. Serta
pernikahan yang tidak tercatat dalam hukum negara.
“Hanya perempuan sendirilah yang mampu mengangkat derajat serta
martabatnya. Sebagai perempuan jangan mudah dan mau diperlakukan
semena-mena oleh kaum laki-laki. Semua perempuan pasti punya potensi
untuk maju,” papar Fitri.
Pemerhati trafficking Kalbar Dra Khairawati MPd menilai apa yang
sudah dilakukan Bupati Garut Aceng HM Fikri melanggar hukum. “Pertama,
perempuan masih di bawah umur meskipun sudah balig. Kedua, pejabat
negara harus memiliki integritas moral sebagai pemimpin,” ungkap
Khairawati kepada Rakyat Kalbar, kemarin.
“Kasus yang terjadi itu jelas pelecehan terhadap perempuan. Alasan
tidak perawan sangat menyakitkan bagi korban, apalagi itu santriwati.
Statement Aceng sudah melecehkan lembaga pondok pesantren dan orang tua
serta keluarga korban,” paparnya.
Lanjutnya, pejabat dengan moral bejat seperti Aceng harus dijatuhi
sanksi. Karena dengan kekuasaan yang dia miliki, bisa seenaknya
menzalimi rakyat. Padahal rakyat di bawah kepemimpinannya harus merasa
aman.
“Gubernur atau Mendagri harus memecatnya. Dengan tidak hormat juga
tidak masalah, karena pejabat bejat moralnya. Silakan kawin yang
dibolehkan syariat. Jangan buat alasan yang tidak berdasar,” tegas
Khairawati.
Harus paham UU pernikahan
Walikota Pontianak H Sutarmidji SH MHum mengatakan belum pahamnya
masyarakat akan UU perkawinan menjadikan kasus doyan kawin Bupati Garut
Aceng HM Fikri menjadi perbincangan banyak orang.
“Jika paham akan aturan, maka tidak akan menjadi besar seperti saat
ini. Masalah sudah jelas, jika kita mengacu kepada UU Perkawinan Islam,
kemudian ahli waris yang dapat dijadikan acuan, sehingga tidak banyak
yang berkomentar macam-macam seperti kasus Pak Aceng dan keputusan MK,”
ungkap Sutarmidji.
Walikota Pontianak itu mengaku banyak kasus yang dapat dijadikan
contoh agar masyarakat lebih memahami UU perkawinan. Sehingga dalam
menjalankan kehidupan, tetap berpegangan kepada syariat Islam dan tidak
salah kaprah. “Saya tidak mau berkomentar mengenai hal tersebut, hanya
saja yang harus dipahami juga, pejabat publik harus mengerti aturan yang
berlaku dan menjadi contoh bagi masyarakat banyak,” papar Sutarmidji.
Penghulu, dikatakan Sutarmidji, sangat berperan dalam
mensosialisasikan UU Perkawinan Islam dan kewarisan Islam. Termasuk
mensosialisasikan isbat nikah, yaitu pernikahan seperti nikah siri dan
di bawah tangan yang terjadi di waktu lima tahun yang lalu. “Isbat nikah
ini berlaku sejak lima tahun lalu dan hanya berlaku untuk istri
pertama, selain itu juga ada istilahnya mawali. Banyak yang tidak tahu
kalau dulu ada putus waris, padahal tidak demikian, belum lagi ada
wasiat wajibah untuk anak angkat. Ini yang harus disosialisasikan kepada
masyarakat luas,” paparnya.
Sehingga pada saat ada yang melakukan ijab kabul melalui telepon
genggam, Sutarmidji berharap tidak lagi mempermasalahkannya. Karena di
dalam hukum Islam, hal tersebut telah diatur dan sah menurut agama.
“Di dalam administrasi pencatatan menikah juga seharusnya ditulis
belum pernah menikah, bukannya masih gadis. Karena kalau ditulis masih
gadis, nantinya akan ada alasan orang menuntut, begini begitu, sehingga
jadi masalah dalam masyarakat dan peristiwa Pak Aceng pun terjadi. Coba
kalau ditulis belum menikah, maka tidak akan ada ketetapan hukum di
dalamnya,” kata Sutarmidji tersenyum.
Walikota Sutarmidji berharap masyarakat harus memahami pentingnya UU
Perkawinan Islam serta hukum waris Islam. Agar tidak lagi menjadi
persoalan yang merugikan wanita sebagai makhluk lemah dan tidak
dijadikan objek bagi pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. (kie/dna)