YNDN telah merilis PSK di kalangan pelajar di Kota Pontianak. Data
diperoleh dari penyebaran penyakit IMS. Walikota meragukan, Devi siap
berikan data. Siapa jamin kerahasiaan?
PONTIANAK – Pernyataan Ketua Yayasan Nanda Dian
Nusantara (YNDN), Devi Tiomana, mengenai Pekerja Seks Komersial (PSK)
berstatus pelajar di Kota Pontianak membuat banyak pihak yang meragukan.
Malah Walikota Pontianak, H Sutarmidji SH MHum mengaku sanksi atas
kebenaran data YNDN.
“Saya perlu data konkret. Kalau menyebut angka, tidak ada data, sama
juga tidak konkret,” ucap Sutarmidji, usai menyaksikan pidato kenegaraan
di DPRD Kota Pontianak. Senin (16/8).
Keraguan Sutarmidji ini didasari belum adanya data yang disampaikan
YNDN ke pihak Pemkot. Selama ini razia di sejumlah tempat yang
dilancarkan Satpol PP tidak pernah menjaring pelajar.
“Jika memang PSK itu bersekolah, di mana sekolahnya. Karena bisa saja
mereka menamakan anak sekolah, karena beberapa waktu yang lalu pernah
bersekolah. Tapi belum tentu anak sekolah,” tuturnya.
Sutarmidji mengatakan terang-terangan tidak pernah percaya dengan
pernyataan yang disampaikan YNDN. Sebab YNDN tidak menyebutkan, tempat
pelajar yang katanya PSK bersekolah itu. “Kalau memang anak sekolah,
sebutkan mereka sekolah di mana. Supaya kita dapat mengambil tindakan.
Kalau perlu buka datanya, karena sampai hari ini belum ada dia temui
saya,” bebernya.
YNDN menurut Sutarmidji, hendaknya tidak menyebutkan prostitusi
melibatkan pelajar tanpa mengungkapkan data faktual. “Jangan cuma
bercuap-cuap di koran saja, sikap itu bisa mencoreng nama dunia
pendidikan,” kata dia.
Karena, lanjutnya, dari 128 anak yang disebutkan, ternyata YNDN tidak
bisa menunjukkan subjeknya. “Kalau cuma bisa ngomong di koran sama juga
merampot (bohong, red),” tuturnya.
Terpisah, Ketua Yayasan Nanda Dian Nusantara (YNDN), Devi Tiomana
menjelaskan, Walikota tidak perlu kelabakan menanggapi hasil temuan yang
dikumpulkan YNDN terhadap pelajar di Kota Pontianak. Data yang dimiliki
YNDN sesungguhnya dapat diperiksa langsung di Puskesmas.
“Petugas puskesmas itu menangani kesehatan para pelajar ini, terutama
mereka yang terkena penyakit Infeksi Menular Sexual (IMS). Jadi data
itu sesungguhnya bisa didapatkan,” ucap Devi.
Kendati begitu, Devi bersedia menyerahkan data ke Pemkot selama ada
jaminan dari Pemkot untuk menjaga kerahasiaan data yang mereka
sampaikan. Hal ini penting, agar para anak yang masih duduk di bangku
sekolah ini tidak mendapatkan sanksi diberhentikan dari sekolah mereka.
“Kami pernah menyampaikan data pada Pemkot. Bukannya anak yang
terlibat PSK dibina, mereka malah dikeluarkan dari sekolah. Anak-anak
itu lalu datang ke tempat saya mereka marah-marah. Karena ketenangan
mereka sudah terganggu, mereka juga dikucilkan,” kata Devi.
Devi menuturkan, tidak akan memberikan data pada Pemkot Pontianak.
Selama masih belum ada komitmen dari seluruh pihak, untuk melakukan
pembinaan guna menyelesaikan persoalan tersebut.
“Walikota percaya atau tidak, saya tidak peduli. Saya melindungi
kerahasiaan data, karena saya tidak mau peristiwa dikeluarkannya
beberapa anak dari sekolah mereka terulang kembali,” tegasnya.
Sebab sampai hari ini, Devi menjelaskan, masih belum ada iktikad baik
dari Pemkot untuk menuntaskan persoalan tersebut. Faktor ekonomi
menjadi pendorong utama, perilaku pelajar yang menggeluti dunia PSK.
Data yang kini mereka miliki, menurut Devi, sesungguhnya dapat
membantu Pemkot dalam memfokuskan pembinaan pada pelajar dan
keluarganya. Bukan malah sebaliknya, memberangus para pelajar ini dengan
cara memberhentikan mereka dari sekolah. Tanpa berpikir untuk melakukan
pembinaan.
“Hanya karena mereka menjadi PSK, bukan berarti anak-anak ini tidak
diberhentikan. Karena ada hak-hak mereka yang harus kita lindungi. bukan
malah mempermalukan mereka. Sebab hal itu tidak menyelesaikan masalah,”
terangnya.
Sementara itu, Mujiono, SPd SE menuturkan, penghargaan Kota Layak
Anak (KLA) hanya sebuah bentuk komitmen. Ia lantas mencontohkan
penanganan anak yang menderita autis, hingga kini Kota Pontianak tidak
memiliki layanan tersebut. “Kita mendorong berdirinya sekolah bagi anak
yang menderita autis, dengan mendatangi langsung Dirjen Pendidikan
Layanan Khusus,” ucapnya.
Langkah ini sesungguhnya sebagai bentuk komitmen dewan, dalam menjaga
predikat KLA yang disandang Kota Pontianak. “Kemungkinan dana itu
mengucur tahun 2012. tapi semuanya kembali pada Pemerintah Provinsi
(Pemprov), karena pengajuan proposal diserahkan pada mereka,” terangnya.
Seluruh langkah yang dilakukan dewan, sesungguhnya untuk mendorong
aspirasi masyarakat yang telah cukup lama mengharapkan penanganan autis
dengan baik mulai dari aspek kesehatan atau pendidikan.
“Itu tadi, semua ini sesungguhnya salah satu komitmen kita dalam
menyempurnakan kota layak anak. Karena anak autis tidak memiliki ruang
di sekolah umum. Makanya diperlukan sekolah khusus,” urainya.
Sedangkan Urai Heni Novitasari menuturkan, jika memang perlu
pembuktian di lapangan. “Saya pikir perlu kita membentuk tim koordinasi
untuk memberantas prostitusi. Walau pun mereka bilang, hal ini
dilakukan, karena perekonomian mereka,” ucapnya.
Namun yang pasti, persoalan tersebut perlu mendapatkan perhatian
karena sudah terjadi trafficking. Apalagi ada muncikari yang berperan
dalam melakukan praktik tersebut. “Hal ini harus diberantas, bagaimana
pun kita harus bersama-sama untuk memberikan bimbingan-bimbingan bersama
mereka,” ingatnya. (ton)